Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Rabu, 20 November 2019

Nasihat KH. Ali Ma'sum kepada Warga NU

*Pengurus NU dan warga NU harus melaksanakan lima hal:* 

 *١. العلم والتعلم بنهضة العلماء*
 (mengetahui dan mempelajari NU); 

*٢. العمل بنهضة العلماء*
 (mengamalkan ajaran NU); 

*٣. الجهاد بنهضة العلماء*
 (berjuang bersama NU);

*٤. الصبر بنهضة العلماء* 
(sabar dalam perjuangan bersama NU);

*٥. الثقة بنهضة العلماء* 
(yakin sepenuhnya terhadap perjuangan NU). 

*KH. Ali Ma'shum*

Kamis, 07 November 2019

Tradisi Salaman

*Assalamu'alaikum. 🔰 Jangan tinggalkan tradisi salaman Oleh:Usep Z [ UNINUS-Bandung Jl.Soekarno Hata No.530],*

Berkaitan dengan mencium tangan orang yang lebih tua, al-Imam al-Nawawi -rahimahullah- mengatakan: 

*ولا يكره تقبيل اليد لزهد وعلم وكبر سن*

*روضة الطالبين ج١٠ ص ٢٣٣*

"Tidak makruh mencium tangan karena kezuhudan, keilmuan dan faktor usia yang lebih tua".

[ Roudhotut Tholibin, juz 10, hal. 233 ]

Bahkan, sebagian ekspresi takzim kepada orang yang lebih tua hukumnya Sunnah, seperti dengan cara berdiri dengan tujuan memuliakan dan kebaktian. 

Syekh Zainuddin al-Malibari -rahimahullah- mengatakan:

 *ويسن القيام لمن فيه فضيلة ظاهرة من نحو صلاح أو علم أو ولادة أو ولاية مصحوبة بصيانة*

*فتح المعين ٩٩*

"Sunah bediri untuk orang yang memiliki keutamaan yang tampak, seperti kesalehan, keilmuan, hubungan melahirkan atau kekuasaan yang dibarengi dengan penjagaan diri.

[Fathul Mu'in, hal.99]

*قوله: ويسن القيام لمن فيه فضيلة ظاهرة) أي إكراما وبرا وإحتراما له لا رياء. (وقوله: أو ولادة) أي ويسن القيام لمن له ولادة: كأب أو أم. (وقوله: أو ولاية) أي ولاية حكم: كأمير وقاض*.

*إعانة الطالبين ج٤ ص٢١٩*

"Ungkapan ‘Sunnah berdiri untuk orang yang memiliki keutamaan yang tampak maksudnya, dengan motivasi memuliakan dan bentuk kebaktian, bukan karena pamer. Ucapan atau hubungan melahirkan maksudnya, Sunnah berdiri kepada orang yang melahirkan seperti bapak atau ibu. Atau orang yang punya kekuasaan seperti Amir dan kodi".

[ I'anatut Tholibin, juz 4, hal. 219 ]

Lebih dari itu, menurut sebagian Ulama', memuliakan kerabat dengan cara berdiri, hukumnya bisa Wajib, ketika meninggalkannya dianggap memutus tali silaturahim. 

Syekh al-Qalyubi -rahimahullah- mengatakan:

 *ويندب تقبيل طفل ولو لغير شفقة ووجه ميت لنحو صلاح ويد نحو عالم وصالح وصديق وشريف لأجل غنى ونحوه والقيام لهم كذلك وبحث بعضهم وجوب ذلك في هذه الأزمنة ؛ لأن تركه صار قطيعة*

*حاشية القليوبي ج٣ص ٢١٤*

"Sunah mencium anak kecil meski karena selain tujuan mengasihi, Sunnah pula mencium wajahnya mayit karena kesalehannya, Sunnah pula mencium tangan orang alim, orang shaleh, kerabat, orang mulia, bukan karena kekayaannya atau yang lain. Hukum Sunnah tersebut juga berlaku dalam permasalahan berdiri kepada mereka. Sebagian ulama berpendapat wajibnya berdiri (memuliakan) pada masa sekarang, karena meninggalkannya merupakan bentuk perbuatan yang memutus tali silaturrahim".

[ Hasyiyah al-Qalyubi, juz 3, hal. 214 ]

Meninggalkan tradisi yang tidak Haram merupakan akhlak yang tidak terpuji, sebagaimana penjelasan Syekh Ibnu Muflih -rahimahullah- berikut ini: 

*لا ينبغي الخروج من عادات الناس إلا في الحرام* 

*الاداب الشرعية ج٢ ص١١٤*

"Tidak sepantasnya keluar dari tradisi manusia kecuali dalam perkara haram".

[Al Adaabu Asy Syar'iyah, juz 2,hal.114]

Wallahul Muwaffieq ilaa 'Aqwamit Tharieq
Wassalamu'alaikum.

Rabu, 06 November 2019

MEMAHAMI AKAR MASALAH ANTARA AHLUSSUNNAH DENGAN SALAFI KAITAN DENGAN AYAT DAN HADITS SIFAT

MEMAHAMI AKAR MASALAH ANTARA AHLUSSUNNAH DENGAN SALAFI 
KAITAN DENGAN AYAT DAN HADITS SIFAT

1. Pembagian Sifat Allah
Al-Hafizh al-Baihaqi dalam mukaddimah al-Hidayah wa ar-Rasyad, sebuah kitab yang 
menjelaskan akidah salaf dan akidah ulama hadits, khususnya akidah sifat, membagi sifat 
Allah menjadi dua (2), yaitu sifat ‘aqliyyah dan sifat khabariyyah.
Sifat ‘aqliyyah adalah sifat-sifat Allah yang bisa ditetapkan dengan dalil naqli dan dalil 
‘aqli. Dalil naqli adalah nash al-Qur’an dan al-Hadits dan ijma’ salaf. Sementara dalil ‘aqli
adalah dalil logika atau rasionalitas (hujjah kalamiyyah). Sementara sifat khabariyyah
adalah sifat-sifat Allah yang hanya ditetapkan dengan dalil naqli dan tidak dengan dalil ‘aqli. 
Bahkan, logika manusia cenderung menolak zhahir dari sifat-sifat itu, karena bertentangan 
dengan dalil-dalil naqli yang muhkamat dan dalil logika bahwa Allah berbeda dengan 
makhluk secara absolut.
Baik sifat ‘aqliyyah atau sifat khabariyyah keduanya dibagi menjadi dua (2), yaitu 
sifat dzat dan sifat fi’il. Sifat dzat adalah sifat yang selalu dimiliki Allah dan Allah tidak 
dapat memiliki sifat sebaliknya. Sedangkan sifat fi’il atau sifat perbuatan Allah adalah sifat 
yang Allah memiliki sifat tersebut, tetapi Allah juga bisa memiliki sifat sebaliknya.
Ulama mencontohkan sifat ‘aqliyyah yang sifat dzat adalah sifat qudrah, sifat ilmu, sifat 
qidam, sifat sama’, sifat bashar, sifat hayat dan lain-lain. Contoh sifat ‘aqliyyah yang sifat 
fi’il adalah sifat imatah (mematikan), ihya’ (menghidupkan), qabdh (mempersempit rizki), 
basth (meluaskan rizki), rahmat (bermakna memberikan kebaikan), dan lain-lain.
Sementara contoh sifat khabariyyah yang sifat dzat adalah sifat yad, wajah, saaq, ushbu’, 
‘ain, dan lain-lain. Apabila sifat-sifat tersebut kita maknai sesuai zhahir lughowi-nya maka 
akan bermakna anggota atau organ badan. Sedangkan contoh sifat khabariyyah yang sifat 
fi’il adalah sifat nuzul, shu’ud, istawa’ dan lain-lain. Sifat-sifat tersebut apabila kita artikan 
sebagaimana zhahir lughowi-nya, maka menunjukkan Allah berubah-ubah posisi dan 
bergerak seperti makhluk. Dan itu semua muhal bagi Allah.
2. Sifat “Aqliyyah dan Sifat Wajib 20
Sifat-sifat wajib bagi Allah yang jumlahnya ada 20, semuanya adalah termasuk sifat 
‘aqliyyah yang dzat (bukan sifat fi’il). Juga tidak ada yang dari unsur sifat khabariyyah. 
Oleh karena itu, sifat-sifat wajib bagi Allah yang pertama kali dirumuskan oleh Imam as-
Sanusi pada abad ke-8 memiliki dalil naqli dan juga dalil ‘aqli sebagaimana dalam sifat 
‘aqliyyah. Hanya saja kitab-kitab kecil dan yang ditulis secara ringkas (mukhtasar) seperti 
kitab Ummul Barahin, Matan al-Bajuri dan lain-lain memang tidak mencantumkan dalil 
naqli secara komplet, dan hanya mencukupkan dengan dalil ‘aqli. Sehingga bagi yang benci, 
mereka menuduh rumusan sifat wajib 20 bagi Allah adalah rekaan filsuf Yunani.

3. Sifat Allah Khabariyyah
Diantara perbedaan sifat ‘aqliyyah dan sifat khabariyyah adalah bahwa sifat ‘aqliyyah 
diberlakukan sebagaimana makna zhahir lughawi-nya, tanpa tafwidh atau ta’wil. Missal sifat 
qudrat atau sifat ilmu, maka kita maknai sebagaimana zhahir lughat dari kalimat dua sifat 
tersebut, tanpa boleh di tafwidh atau di ta’wil. Berbeda dengan sifat khabariyyah, dimana 
mauqif ulama Ahlussunnah dalam interaksinya memiliki dua methode, yaitu tafwidh dan 
ta’wil. 
Sifat khabariyyah adalah mutasyabihat menurut ulama’ Ahlussunnah wal Jama’ah
dan menyelisihi Ibn Taimiyyah yang mengaktegorikan muhkamat. Oleh karena itu, interaksi 
kita adalah mengimani ayat dan hadits sifat yang datangnya dari Allah dan Rasul-Nya serta
makna zhahir (lughawi)-nya (yang segera hadir dalam fikiran) kita singkirkan atau tidak 
dikehendaki. Setelah itu, makna yang dikehendaki kita serahkan kepada Allah yang 
kemudian populer dengan methode tafwidh sebagaimana akidah (mayoritas) salaf. Atau 
kita maknai dengan makna yang tepat yang sesuai dengan Bahasa Arab yang kemudian 
disebut dengan methode ta’wil sebagaimana madzhab mayoritas ulama’ khalaf.
Jika muncul pertanyaan: “Mengapa sifat khabariyyah tidak diberlakukan sama seperti 
sifat ‘aqliyyah, yaitu sama-sama dimaknai sesuai makna zhahirnya?” Jawabnya, sifat 
‘aqliyyah adalah sifat yang tidak meninggalkan musykil sama sekali terhadap makna 
zhahirnya. Pun pula makna zhahir lughawi-nya memberikan kesan tanzih (membersihkan 
Allah dari tasybih dan tajsim) dan jauh dari tasybih apalagi tajsim (mimfisikalkan Allah). 
Sementara sifat khabariyyah, zhahirnya memberikan makna tasybih dan tajsim yang tidak 
mungkin disematkan kepada Allah karena bertentangan dengan dalil-dalil naqli yang 
muhkamat dan dalil ‘aqli yang qath’i. Dan inilah yang membedakan kedua sifat tersebut. 
Oleh karena itu, tidak ada asma husna Allah yang muncul atau diambil dari sifat 
khabariyyah. Asma husna semuanya diambil dari sifat ‘aqliyyah, baik sifat dzat atau sifat 
fi’il.
4. Tafwidh dan Ta’wil Ahlussunnah
Selain madzhab yang ta’thil (menihilkan sifat bagi Allah) yang didakwakah oleh Jahm 
bin Shafwan (Jahmiyyah)2
, ada (3) tiga methode atau madzhab lain terkait mauqif ulama 
terhadap sifat khabariyyah. Yaitu tafwidh, ta’wil dan itsbat makna zhahir (untuk 
selanjutnya disebut madzhab itsbat). Tafwidh dan ta’wil adalah methode ulama 
Ahlussunnah wal Jama’ah, baik dari kalangan Asy’ariyyah, Maturidiyyah, dan sebagian 
Atsariyyah (Hanabilah). Sementara itsbat makna zhahir atau menetapkan makna zhahir 
sebagaimana dalam lughat, bukanlah methode yang dianut ulama Ahlussunnah wal jama’ah, 
tetapi sebuah methode (manhaj) yang difahami oleh Syaikh Ibn Taimiyyah dan kemudian 
disokong habis-habisan oleh kaum Salafi. Dan mereka mengklaim bahwa methode mereka 
adalah methode atau manhaj salaf.
Dengan demikian, ulama’ Ahlussunnah wal Jama’ah Asy’ariyyah dan Maturidiyyah 
dengan methode tafwidh dan ta’wil-nya berada di tengah-tengah antara ta’thilnya kaum 
Jahmiyyah dan tajsim atau tasybihnya kamu Mujassimah (Musyabbihah) seperti 
Hasyawiyyah dan Karramiyyah.
Secara umum, definisi tafwidh adalah menyerahkan makna sifat kepada Allah dan 
Rasul-Nya karena kita tidak mengetahui makna hakiki-nya. Sementara ta’wil adalah 
mencari makna yang tepat untuk kalimat sifat serta sesuai dengan lughat Bahasa Arab. Dan 
ulama’ telah mensyaratkan, ta’wil tidak boleh bertentangan dengan siyaq kalam juga harus
mempertimbangkan kalimat sesudah (lahiq) dan sebelumnya (sabiq).
Sementara madzhab itsbat adalah menetapkan makna sifat Allah sebagaimana zhahir 
lughatnya. Oleh karena zhahir lughat bisa menjatuhkan tasybih atau tajsim, maka methode
ini ditolak oleh ulama Ahlussunnah wal Jama’ah.

Senin, 04 November 2019

jikalau Nabi Muhammad hadir kembali

Jikalau Nabi Muhammad hadir kembali

Walaupun Nabi Muhammad itu manusia seperti kita, namun karena beliau mendapat wahyu kenabian (Qs al-Kahfi ayat 110), maka interaksi kita dengan beliau tidaklah sama dengan cara kita berinteraksi kepada orang lain.

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (Qs al-Ahzab ayat 40)

Seandainya Nabi Muhammad hadir kembali di tengah-tengah kita, bagaimana tuntunan al-Quran dan Hadits mengenai cara kita berinteraksi dengan beliau?

1. Kita diperintah membaca shalawat 

Allah SWT berfirman dalam al-Quran surah al-Ahzab ayat 56:

‎إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.”

2. Merendahkan suara saat berkomunikasi dengan Nabi

‎يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak terhapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari” (QS Al-Hujurat ayat 2).

3. Etika bertamu ke rumah Nabi

‎يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَىٰ طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَٰكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ ۖ وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ ۚ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ۚ ذَٰلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ ۚ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا ۚ إِنَّ ذَٰلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمًا
 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah” (Qs al-Ahzab ayat 53)

4. Jangan menyapa beliau Saw seperi menyapa orang lain: Hai Muhammad!

‎لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا

“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain)....” (Qs an- Nur ayat 63) 

5. Jangan mengintip ke dalam rumah Nabi

Seseorang mengintip ke rumah Nabi saw melalui lubang pintu, saat itu Nabi saw sedang bersisir, lalu Nabi saw bersabda: “Kalaulah aku tahu engkau tengah mengintipku, niscaya sudah aku colok kedua matamu dengan sisir ini. Sesungguhnya permintaan izin itu diperintahkan untuk menjaga pandangan mata” (HR. Bukhari dan Muslim). 

6. Jangan banyak bertanya hal-hal yang tidak penting atau tidak patut dipertanyakan kepada Nabi

‎يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (Qs al-Maidah ayat 101)

Dalam hadits riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah bersabd:

“Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena banyak bertanya dan berselisih dengan para nabi,” (HR Muslim).

Larangan bertanya dalam hadis di atas sebetulnya, menurut Imam An-Nawawi, merespon orang yang banyak bertanya tentang sesuatu yang didiamkan dalam syariat.

Konteks hadis ini adalah ketika Allah SWT menurunkan ayat yang berkaitan dengan kewajiban haji, ada seorang sahabat yang bertanya kepada Rasulullah, “Apakah haji itu tiap Tahun wahai Rasulullah?”

Rasulullah diam dan tidak menjawab sampai sahabat itu bertanya untuk yang ketiga kalinya.

Rasulullah mengatakan, “Kalau aku jawab iya, niscaya akan memberatkan kalian. Tinggalkanlah (jangan bertanya) terhadap sesuatu yang aku biarkan.”

7. Patuh pada perintah Allah dan RasulNya

‎إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh". Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Qs an-Nur ayat 51)

8. Larangan berdusta atas nama Rasulullah

“Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka" (HR Bukhari) 

9. Berdiri menyambut kehadiran Nabi

Dalam hadis diceritakan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

‎عن عائشة رضي الله عنها قالت: ما رأيت احدا من الناس كان أشبه با النبي صلى الله عليه وسلم : إذا رأها اقبلت رحب بها ثم قام إليها فقبلها ثم أخد بيدها فجاء بها حتى يجلسها في مكانه وكانت إذا اتاها النبي صلى الله عليه وسلم رحبت به ثم قامت اليه فقبلته

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: aku tidak melihat seorang pun di antara manusia yang lebih menyerupai nabi dalam hal berdialog, berbicara, dan cara duduknya selain Fatimah Radhiyallahu ‘Anha ”. Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata, “Apabila Nabi Saw melihat Fatimah datang beliau menyambutnya serta berdiri untuknya, lalu menciumnya sambil memegang erat tangan Fatimah itu. Kemudian Nabi menuntun Fatimah sampai mendudukkannya di tempat beliau biasa duduk. Sebaliknya, apabila Nabi Saw yang datang kepadanya, Fatimah berdiri menyambut Nabi serta mencium Rasulullah Saw (HR. Bukhari, Turmidzi, Abu Dawud).

Demikianlah paling tidak 9 etika kita berinteraksi kepada Nabi Muhammad jikalau beliau kembali hadir di tengah kita. 

Ya Rabb,
Jangan biarkan malam berganti hari
Pada bulan #maulid ini
Tanpa kami merasakan kehadiran  
Muhammad al-Musthafa
Kekasih kami

🙏😍

Tabik,

Nadirsyah Hosen
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...