MEMAHAMI AKAR MASALAH ANTARA AHLUSSUNNAH DENGAN SALAFI
KAITAN DENGAN AYAT DAN HADITS SIFAT
1. Pembagian Sifat Allah
Al-Hafizh al-Baihaqi dalam mukaddimah al-Hidayah wa ar-Rasyad, sebuah kitab yang
menjelaskan akidah salaf dan akidah ulama hadits, khususnya akidah sifat, membagi sifat
Allah menjadi dua (2), yaitu sifat ‘aqliyyah dan sifat khabariyyah.
Sifat ‘aqliyyah adalah sifat-sifat Allah yang bisa ditetapkan dengan dalil naqli dan dalil
‘aqli. Dalil naqli adalah nash al-Qur’an dan al-Hadits dan ijma’ salaf. Sementara dalil ‘aqli
adalah dalil logika atau rasionalitas (hujjah kalamiyyah). Sementara sifat khabariyyah
adalah sifat-sifat Allah yang hanya ditetapkan dengan dalil naqli dan tidak dengan dalil ‘aqli.
Bahkan, logika manusia cenderung menolak zhahir dari sifat-sifat itu, karena bertentangan
dengan dalil-dalil naqli yang muhkamat dan dalil logika bahwa Allah berbeda dengan
makhluk secara absolut.
Baik sifat ‘aqliyyah atau sifat khabariyyah keduanya dibagi menjadi dua (2), yaitu
sifat dzat dan sifat fi’il. Sifat dzat adalah sifat yang selalu dimiliki Allah dan Allah tidak
dapat memiliki sifat sebaliknya. Sedangkan sifat fi’il atau sifat perbuatan Allah adalah sifat
yang Allah memiliki sifat tersebut, tetapi Allah juga bisa memiliki sifat sebaliknya.
Ulama mencontohkan sifat ‘aqliyyah yang sifat dzat adalah sifat qudrah, sifat ilmu, sifat
qidam, sifat sama’, sifat bashar, sifat hayat dan lain-lain. Contoh sifat ‘aqliyyah yang sifat
fi’il adalah sifat imatah (mematikan), ihya’ (menghidupkan), qabdh (mempersempit rizki),
basth (meluaskan rizki), rahmat (bermakna memberikan kebaikan), dan lain-lain.
Sementara contoh sifat khabariyyah yang sifat dzat adalah sifat yad, wajah, saaq, ushbu’,
‘ain, dan lain-lain. Apabila sifat-sifat tersebut kita maknai sesuai zhahir lughowi-nya maka
akan bermakna anggota atau organ badan. Sedangkan contoh sifat khabariyyah yang sifat
fi’il adalah sifat nuzul, shu’ud, istawa’ dan lain-lain. Sifat-sifat tersebut apabila kita artikan
sebagaimana zhahir lughowi-nya, maka menunjukkan Allah berubah-ubah posisi dan
bergerak seperti makhluk. Dan itu semua muhal bagi Allah.
2. Sifat “Aqliyyah dan Sifat Wajib 20
Sifat-sifat wajib bagi Allah yang jumlahnya ada 20, semuanya adalah termasuk sifat
‘aqliyyah yang dzat (bukan sifat fi’il). Juga tidak ada yang dari unsur sifat khabariyyah.
Oleh karena itu, sifat-sifat wajib bagi Allah yang pertama kali dirumuskan oleh Imam as-
Sanusi pada abad ke-8 memiliki dalil naqli dan juga dalil ‘aqli sebagaimana dalam sifat
‘aqliyyah. Hanya saja kitab-kitab kecil dan yang ditulis secara ringkas (mukhtasar) seperti
kitab Ummul Barahin, Matan al-Bajuri dan lain-lain memang tidak mencantumkan dalil
naqli secara komplet, dan hanya mencukupkan dengan dalil ‘aqli. Sehingga bagi yang benci,
mereka menuduh rumusan sifat wajib 20 bagi Allah adalah rekaan filsuf Yunani.
3. Sifat Allah Khabariyyah
Diantara perbedaan sifat ‘aqliyyah dan sifat khabariyyah adalah bahwa sifat ‘aqliyyah
diberlakukan sebagaimana makna zhahir lughawi-nya, tanpa tafwidh atau ta’wil. Missal sifat
qudrat atau sifat ilmu, maka kita maknai sebagaimana zhahir lughat dari kalimat dua sifat
tersebut, tanpa boleh di tafwidh atau di ta’wil. Berbeda dengan sifat khabariyyah, dimana
mauqif ulama Ahlussunnah dalam interaksinya memiliki dua methode, yaitu tafwidh dan
ta’wil.
Sifat khabariyyah adalah mutasyabihat menurut ulama’ Ahlussunnah wal Jama’ah
dan menyelisihi Ibn Taimiyyah yang mengaktegorikan muhkamat. Oleh karena itu, interaksi
kita adalah mengimani ayat dan hadits sifat yang datangnya dari Allah dan Rasul-Nya serta
makna zhahir (lughawi)-nya (yang segera hadir dalam fikiran) kita singkirkan atau tidak
dikehendaki. Setelah itu, makna yang dikehendaki kita serahkan kepada Allah yang
kemudian populer dengan methode tafwidh sebagaimana akidah (mayoritas) salaf. Atau
kita maknai dengan makna yang tepat yang sesuai dengan Bahasa Arab yang kemudian
disebut dengan methode ta’wil sebagaimana madzhab mayoritas ulama’ khalaf.
Jika muncul pertanyaan: “Mengapa sifat khabariyyah tidak diberlakukan sama seperti
sifat ‘aqliyyah, yaitu sama-sama dimaknai sesuai makna zhahirnya?” Jawabnya, sifat
‘aqliyyah adalah sifat yang tidak meninggalkan musykil sama sekali terhadap makna
zhahirnya. Pun pula makna zhahir lughawi-nya memberikan kesan tanzih (membersihkan
Allah dari tasybih dan tajsim) dan jauh dari tasybih apalagi tajsim (mimfisikalkan Allah).
Sementara sifat khabariyyah, zhahirnya memberikan makna tasybih dan tajsim yang tidak
mungkin disematkan kepada Allah karena bertentangan dengan dalil-dalil naqli yang
muhkamat dan dalil ‘aqli yang qath’i. Dan inilah yang membedakan kedua sifat tersebut.
Oleh karena itu, tidak ada asma husna Allah yang muncul atau diambil dari sifat
khabariyyah. Asma husna semuanya diambil dari sifat ‘aqliyyah, baik sifat dzat atau sifat
fi’il.
4. Tafwidh dan Ta’wil Ahlussunnah
Selain madzhab yang ta’thil (menihilkan sifat bagi Allah) yang didakwakah oleh Jahm
bin Shafwan (Jahmiyyah)2
, ada (3) tiga methode atau madzhab lain terkait mauqif ulama
terhadap sifat khabariyyah. Yaitu tafwidh, ta’wil dan itsbat makna zhahir (untuk
selanjutnya disebut madzhab itsbat). Tafwidh dan ta’wil adalah methode ulama
Ahlussunnah wal Jama’ah, baik dari kalangan Asy’ariyyah, Maturidiyyah, dan sebagian
Atsariyyah (Hanabilah). Sementara itsbat makna zhahir atau menetapkan makna zhahir
sebagaimana dalam lughat, bukanlah methode yang dianut ulama Ahlussunnah wal jama’ah,
tetapi sebuah methode (manhaj) yang difahami oleh Syaikh Ibn Taimiyyah dan kemudian
disokong habis-habisan oleh kaum Salafi. Dan mereka mengklaim bahwa methode mereka
adalah methode atau manhaj salaf.
Dengan demikian, ulama’ Ahlussunnah wal Jama’ah Asy’ariyyah dan Maturidiyyah
dengan methode tafwidh dan ta’wil-nya berada di tengah-tengah antara ta’thilnya kaum
Jahmiyyah dan tajsim atau tasybihnya kamu Mujassimah (Musyabbihah) seperti
Hasyawiyyah dan Karramiyyah.
Secara umum, definisi tafwidh adalah menyerahkan makna sifat kepada Allah dan
Rasul-Nya karena kita tidak mengetahui makna hakiki-nya. Sementara ta’wil adalah
mencari makna yang tepat untuk kalimat sifat serta sesuai dengan lughat Bahasa Arab. Dan
ulama’ telah mensyaratkan, ta’wil tidak boleh bertentangan dengan siyaq kalam juga harus
mempertimbangkan kalimat sesudah (lahiq) dan sebelumnya (sabiq).
Sementara madzhab itsbat adalah menetapkan makna sifat Allah sebagaimana zhahir
lughatnya. Oleh karena zhahir lughat bisa menjatuhkan tasybih atau tajsim, maka methode
ini ditolak oleh ulama Ahlussunnah wal Jama’ah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tulis Komentar Anda Di sini